"Selamat Datang di Cindi's blog"

.

RSS

Ayah, mengapa aku berbeda


Kelahiranku

Saat aku terlahir di dunia ini, ayahku pernah bercerita bahwa ia mendengar suara tangisku yang menjerit begitu keras. Dokter dan suster yang ikut membantu proses kelahiranku pun begitu bingung karena aku tidak berhenti menangis meski mereka sudah menimang dan menghiburku dengan berbagai cara. Awalnya, aku tidak mengerti mengapa aku terus menangis dan tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Suster yang bingung kemudian menyarankan dokter untuk meminta Ayah yang sedang berada di ruang tunggu untuk melihatku.

Dengan terburu-buru, Ayah memasuki ruangan inkubator dan ia menyentuh jari pertamanya pada wajahku yang lahir prematur. Ia menitikkan air mata melihatku dan aku pun secara ajaib berhenti menangis. Ayah mengangkat tubuh mungilku yang hanya seberat beberapa gram saja. Ia melihatku berhenti menangis. Suster-suster heran ketika suara tangisku akhirnya berubah bersuka cita. Ayah menimang tubuhku dengan lembut sambil berkata,

“Mulai saat ini hanya kamulah yang paling berharga dalam hidup Ayah…” begitu kalimat pertamanya padaku.

Ya. Aku adalah anak yang paling berharga baginya. Kelahiranku adalah dua sisi yang cukup membuat Ayah begitu tertekan antara bahagia dan duka.

Duka itu dimulai saat Ibu mengalami pendarahan hebat dan Ayah berada dalam kondisi yang sulit ketika Dokter memberikannya dua pilihan: Pertama, aku yang pergi dari dunia ini atau Ibu yang harus merelakan nyawanya.

Tanpa mempedulikan saran Ayah, Ibu memilih untuk melahirkanku daripada harus mengaborsi bayi prematur yang telah ia rawat dengan penuh kasih sayang. Ia melupakan semua saran dokter demi aku: Sang janin kecil yang terus membuat nyawanya terancam.

Ayah menginginkanku di dunia ini seperti halnya Ibu. Tapi Ayah tidak ingin membuat Ibu bersedih dan bimbang melawan keputusan Ibu. Ayah terpaksa menerima keputusan Ibu dan berharap keduanya dapat selamat dengan mukjizat Tuhan. Di saat-saat kritis itu, dengan mengenggam erat tangan Ibu, Ayah melihat sendiri Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Di saat nafasnya akan berakhir, terdengar suara tangis pertamaku di dunia ini dengan senyuman terakhir Ibu yang bahagia melihat kelahiranku. Saat itulah ia pergi dariku dan Ayah.

Tuhan, aku tidak pernah mengerti mengapa aku harus menjadi beban bagi hidup ibuku. Andai saja aku tahu bahwa hidupku hanya untuk membuat ibuku menderita, mungkin aku tidak akan memilih untuk terus hidup di dunia ini.

Tapi semua rencanaNya telah digariskan lewat takdir yang mempertemukan Ibu dan ayahku. Dan oleh karena cinta merekalah aku terlahir ke dunia ini. Ayah selalu berkata bahwa pernikahan mereka adalah hal terindah di dunia ini. Sebagai keluarga kecil yang bahagia, tentu saja mereka berharap ingin hidup bersama hingga waktu memisahkan mereka. Tapi nyatanya perpisahan terjadi begitu singkat hanya setelah pernikahan dua tahun itu dan kelahiranku adalah awal yang membuat dunia Ayah berubah. Kini ia menjadi orang tua tunggal bagiku.

Di saat Ayah menimangku dengan penuh kasih, seorang suster mendekat padanya lalu bertanya dengan perlahan agar tidak membuatku kembali menangis.

“Maaf Pak menganggu, bayi cantik ini akan diberikan nama siapa?” tanya suster itu pada Ayah.

“Angel! Berikan nama dia Angel,” kata Ayah.

Angel. Itulah namaku.

Nama yang Ayah berikan untuk mengenang Ibu yang juga bernama Angel. Mereka memiliki rahasia mengapa aku diberikan nama itu dan aku hanya akan tahu pada saat usiaku nanti sudah cukup dewasa untuk mengerti arti kehidupan.

Karena merasa nyaman, saat itu aku malah tertidur dalam timangan Ayah. Sambil menciumku, Ayah kembali memberikan aku kepada suster agar dikembalikan ke dalam ruangan inkubator supaya tubuhku merasa hangat.

***

Karena aku lahir prematur, aku harus dirawat untuk waktu yang cukup lama hingga aku bisa keluar dari Rumah Sakit. Ayah yang bingung, kemudian meminta ibunya (nenekku) untuk merawatku. Selain harus menyiapkan upacara pemakaman almarhumah Ibu, Nenek diharapkan dapat membantu Ayah yang harus menjalani hidup-hidup beratnya saat ini. Nenek yang tinggal di Jakarta, langsung terbang naik pesawat menuju Semarang. Ia memberikan kekuatan besar dalam hidup Ayah saat itu. Dan darinya juga, Ayah belajar banyak akan arti keikhlasan dan harus kuat untuk melihat masa depan.

Ibu, sebelum meninggal pernah meminta Ayah untuk tidak menguburkannya tapi lebih memilih untuk dikremasi, kemudian meminta abunya dibuang di lautan Jawa. Ayah menuruti permintaan terakhir Ibu dengan berat hati, ia menyimpan sisa-sisa abu itu dalam sebuah kotak guci kecil yang ia simpan di ruangan kamarnya dengan foto Ibu yang sedang tersenyum. Setiap malam ia selalu menyalakan lilin minyak kecil untuk mengenang Ibu. Ia tidak bisa sedih berlama-lama karena ada aku yang harus ia perjuangan untuk terus hidup.

Setelah dua bulan lamanya hidup dalam inkubator, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Bersama dengan Nenek, Ayah belajar banyak bagaimana caranya menjadi seorang ibu. Ia mulai mengerti bagaimana untuk menganti popokku, membuatku berhenti menangis pada malam hari dan juga bagaimana memandikanku dengan benar. Tapi yang paling sulit baginya adalah membuat susu yang baik bagiku, sebab aku sangat sulit untuk minum susu bila tidak hangat atau tidak manis.

Karena tidak ada ASI ( Air Susu Ibu) dari ibu kandung, Ayah harus menambah beberapa vitamin tambahan yang diberikan dokter agar aku dapat tumbuh dengan sehat dan sempurna sesuai asupan gizi seusiaku. Bersama kedua malaikat itu, aku pun tumbuh seiring berjalannya waktu. Ayah dan Nenek bergantian menjagaku. Bila Ayah harus bekerja, Nenek dengan siaga menjagaku dan begitu pula sebaliknya, bila Nenek sedang beristirahat, Ayah akan menjagaku dengan sungguh-sungguh agar tidak menangis dan menganggu istirahat Nenek yang sudah berusia 55 tahun. Saat itu usiaku baru satu tahun.

Aku tidak tahu betapa aku adalah bayi yang merepotkan karena Ayah bilang, saat aku kecil, selalu buang air kecil setiap popok baru terpasang. Aku juga tidak pernah mau mendengarkan semua nyanyian yang Ayah berikan padaku ketika ia mencoba membuatku tidur. Aku juga selalu menangis dan menangis bila merasa Ayah dan Nenek kurang memanjakanku atau apa yang aku inginkan tidak mereka berikan. Semua masih baik-baik saja sampai akhirnya Ayah mulai merasa aku telat bicara, karena seharusnya usiaku saat itu (dua tahun) bahkan tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, padahal Ayah sudah mengajarkanku beberapa kata-kata ringan seperti memanggil;

“Ayah…” atau “ Nenek…”

Sampai akhirnya ketika usiaku menginjak tiga tahun, aku masih tidak pernah bicara apapun dan Ayah merasa ada yang aneh dengan sikapku. Terutama ketika aku tidak pernah merespon terhadap panggilannya. Ia malah berpikir aku seorang autis karena pada saat itu ia sempat mendengar perilaku balita sepertiku dapat dikatakan penderita autis. Untuk membuatku tetap ceria, Ayah memberikanku banyak mainan boneka. Aku sangat suka bermain dengan boneka-boneka yang Ayah bawakan setiap ia pulang kerja.

Sampai akhirnya pada saat aku bermain boneka, Ayah memandangku. Sedangkan Nenek saat itu sedang di dapur untuk membuat makan malam kami.

“Angel!” teriak Ayah di hadapanku saat aku sedang asyik bermain boneka sapi kartun lucu.

Ia kemudian mendekatiku, lalu membelakangi tubuhku, ia mengunakan kedua tangannya di kepalaku sambil menepuk kedua tangannya dengan kencang. Terdengar suara tepukan tepat di belakang kepalaku. Ayah melakukannya berulang-ulang hingga ia berhenti dan menarik nafas panjang. Nenek yang mendengar suara tepukan tangan itu keluar dari dapur menuju ruangan dimana aku dan Ayah berada. Ia melihat tingkah Ayah dan bertanya,

“Sedang apa kamu Martin?” panggil Nenekku. Martin adalah nama Ayahku.

“Ibu, aku merasa Angel tidak bisa mendengar apa yang aku lakukan, bahkan ia tidak bisa merespon tepukan tangan tepat di belakangnya. Bila ia bisa mendengar, harusnya ia akan terkejut. Tapi ia diam saja.”

Nenek kemudian mendekatiku yang masih asyik bermain boneka. Ia memandangku dan berbicara pada Ayah sambil memegang kepalaku dengan lembut.

“Ibu juga merasa ada yang tidak beres dengannya. Bagaimana kalau kita coba bawa ke dokter? Mungkin mereka bisa menemukan jawabannya.”

“Baiklah Bu. Aku akan mandi dulu. Setelah makan malam aku akan membawa Angel ke dokter.”

“Ibu juga ingin ikut,” kata Nenekku.

***

Sesungguhnya kecemasan Ayah karena aku tidak bisa merespon dan mendengar apapun yang diperintahkan sudah sejak lama disimpannya, tapi ia mulai menyadari bahwa aku bukanlah anak autis. Pikiran itu akhirnya runtuh sampai hari ini. Ia benar-benar harus mencoba mencari tahu apa yang terjadi padaku. Setelah aku menikmati makam malam buatan Nenek dan merasa kenyang, aku tertidur dan ketika terbangun, aku sudah berada di Rumah Sakit. Seorang dokter tampak sedang memeriksa telingaku dengan senter kecil berwarna putih yang cukup aneh bagiku.

Dokter perempuan itu tersenyum padaku. Lalu usai pemeriksaan itu, Nenek langsung mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar ruangan Rumah Sakit, agar tidak mengganggu pembicaraan Ayah dengan Dokter.

Ayah berbicara dengan Dokter Intan yang notabene adalah seorang spesialis telinga.

“Bagaimana Dok, dengan kondisi Angel? Mengapa dia tidak bisa merespon panggilan dan kata-kata saya?”

“Dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan kalau anak Bapak adalah seorang tunarungu…”

“Tunarungu? Bagaimana bisa?” (Tunarungu: orang yang terlahir cacat pada pendengarannya)

“Melihat catatan kelahiran dan kesehatannya, pada anak Bapak yang lahir secara prematur, segala kemungkinan bisa terjadi. Tunarungu adalah salah satu hal yang bisa terjadi pada setiap anak-anak yang terlahir secara prematur. Jadi dalam dunia medis, cacat lahir bawaan ini adalah hal yang bisa terjadi di setiap 10 banding 1000 kelahiran bayi.”

Ayah terdiam.

“Bapak tidak perlu bersedih ataupun panik, dewasa ini sudah banyak pendidikan dan orang yang hidup dengan kondisi yang sama dengan anak Bapak. Anak Bapak tetap bisa memiliki masa depan yang baik. Bila sejak dini kita mendidik dan mengajarinya, kelak anak itu akan tumbuh seperti anak-anak normal lainnya dan masyarakat kita sudah bisa menerima keadaan seperti ini.”

“Tapi keadaan ini sangat membuat saya sedih. Kasihan anak itu, ia tidak menyadari keadaannya, apa yang harus saya lakukan untuk memberitahunya? Apa yang harus ajarkan padanya saat ia mulai tumbuh jadi besar? Dan yang paling saya cemaskan, bagaimana caranya ia tau keadaannya sendiri? Apa yang harus saya jelaskan sedangkan dia sendiri tidak bisa mendengar dan bahkan tak mengerti apa yang saya katakan?” kata Ayah dengan wajah sedih dan menahan air mata.

Dokter mencoba membuat Ayah tegar, lalu berpikir sejenak sampai akhirnya ia mengambil kartu nama dan memberikannya pada Ayah. Dokter merekomendasikan seorang kenalan yang ia pikir bisa membantu masalah Ayah.

“Begini saja, saya memiliki seorang kenalan yang sudah berpengalaman untuk mendidik bagaimana caranya menjadi orang tua tunarungu, mungkin ia bisa membantu Bapak dalam masalah ini.”

“Maksudnya ‘dia’ Dokter?”

“Beliau adalah seorang ibu yang juga memiliki anak tunarungu. Beliau berhasil menjadi pendidik bagi orang tua yang melahirkan anak-anak tunarungu. Saya yakin dengan senang hati ia akan membantu Bapak agar bisa menjadi orang tua yang baik. Simpanlah kartu nama ini, katakanlah bahwa saya yang merekomondasikannya pada Bapak.”

“Terima kasih Dokter!”

Ayah keluar dari ruangan Dokter dengan wajah sedih. Ia membaca kartu nama itu dengan teliti dan berharap banyak pada Ibu yang berpengalaman itu dapat menyelamatkan hidupku. Saat itu, Nenek baru saja memberikanku eskrim coklat dan ketika melihat Ayah aku langsung mendekatinya. Nenek bertanya kepada Ayah yang tampak murung.

“Bagaimana hasilnya, Tin?”

“Angel positif tunarungu, Bu…”

Nenek ingin menangis ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ayah, tapi ia tidak ingin membuat Ayah lebih bersedih. Di saat seperti ini, hanya dialah orang yang bisa menghibur dan menguatkan hati Ayah untuk membesarkanku. Ayah memang bukanlah seorang ibu, tapi ia memiliki ibu yang berpengalaman merawatnya hingga dewasa seorang diri tanpa suaminya (Kakekku). Kakek meninggal saat ayah berusia tiga tahun karena kecelakaan kereta api. Apa yang terjadi pada Ayah saat ini, seperti halnya pernah terjadi pada Nenek saat itu.

Tapi Nenek memang luar biasa, ia berhasil hidup menjadi orang tua tunggal bagi Ayah dan kini ia harus membuat Ayah juga sekuat Nenek.


Mengapa Aku Terlahir Cacat?

Mungkin hanya Tuhan Yang Maha Tahu untuk menjawabnya. Bagaimanapun dan apapun keadaanku, inilah jalan yang harus aku lalui. Mungkin dari sejak awal, Ayah sudah menyadari apa yang akan terjadi padaku ketika dulu sebelum aku terlahir, ia mendapat peringatan keras dari dokter untuk melarang kelahiranku. Tapi ia juga paham, Ibu yang berhati mulia seperti istrinya tidak akan pernah tega melakukan apa yang dokter sarankan walau kematian adalah ancaman terbesar baginya.

Ibu dan Ayah, sejak dulu memang sudah harus melalui penderitaan cinta untuk bersatu. Ibuku tiga tahun lebih tua dari Ayah. Ia adalah seorang putri dari orang tua yang sukses dan kaya. Ayahku hanya seorang anak yang terlahir dari ibu tunggal yang bekerja sebagai pembuat kue. Mereka dipertemukan oleh Takdir di saat Ayah yang mendapatkan beasiswa belajar musik di sekolah musik terkenal sedangkan Ibu adalah seorang senior di sekolah musik itu. Ibu melihat bakat Ayah yang cukup tinggi dalam bermain piano.

Ibu terkesan dengan Ayah yang begitu mahir bermain piano. Ia secara tak sengaja mendengar permainan piano Ayah saat hendak masuk ke kelasnya. Bukannya masuk ke kelasnya sendiri, ia malah terduduk di kursi kelas Ayah. Saat Ayah selesai bermain piano, Ibu memberikan tepuk tangan meriah pada Ayah. Ayah yang saat itu berusia empat belas tahun hanya tersipu malu melihat ibu yang cantik memuji permainannya. Sejak saat itu mereka pun berkenalan. Dengan malu-malu, Ayah mengenalkan dirinya pada Ibu yang usianya tiga tahun lebih tua darinya.

“Angel…” kata Ibu sambil pergi meninggalkan Ayah.

Awalnya, Ayah mungkin melihat Ibu sebagai cinta monyet pertamanya. Tapi ketika ia mulai mencoba mencari tahu tentang Ibu, hatinya langsung ciut ketika melihat Ibu setiap hari pulang-pergi ke tempat sekolah musik dengan supir dan mobil mewah. Ia tidak punya nyali untuk mendekati Ibu dengan hanya bermodalkan sepeda butut peninggalan ayahnya. Dan ia pun tidak pernah mencoba untuk mendekati Ibu karena ia sudah sadar dari sejak awal, hanya dalam dongeng mimpi ia bisa mendapatkan gadis secantik Ibu.

Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Ayah melihat Ibu yang menangis di tangga sekolah musik. Saat itu ia hendak naik ke lantai atas dan berpapasan dengan Ibu yang tampak sedang menangis. Ayah mencoba melewatinya tapi Ibu memintanya berhenti sambil berkata,

“Memangnya kamu tidak bisa apa menghibur seorang gadis yang sedang menangis? Jangan hanya lewat dan diam saja dong!” kata Ibu.

“Maaf, aku takut membuatmu marah, karena itu tidak ingin mengganggumu.”

“Kan kamu bisa tanya kenapa aku menangis? Gimana sih!” pinta Ibu membuat Ayah bingung.

“Tuh kan bingung, ayo tanya padaku kenapa aku menangis?!” teriak Ibu. Ayah menurutinya dengan gugup.

“Kenapa kamu menangis Angel?”

Ketika mendengarkan pertanyaan itu, yang ditanya malah berteriak menangis semakin kencang. Banyak orang yang mendengar tangisan itu langsung mendekat dan berpikir bahwa Ayah yang membuat Ibu menangis. Ayah tampak bodoh disudutkan dengan kondisi itu, apalagi supir Ibu langsung membawa Ibu pergi begitu saja. Sejak saat itu Ayah merasa menjadi terdakwa dan memutuskan untuk tidak sekolah musik lagi karena tidak ingin menjadi olok-olokan teman-teman sekelasnya.

Nenek bingung dengan Ayah yang tidak lagi sekolah musik, padahal ia sangat berharap mendapatkan beasiswa itu sejak lama.

“Kamu tidak sekolah musik lagi, Tin?” tanya Nenek.

“Males Bu, anak-anak orang kaya pada sombong, belajar di rumah juga sama aja. Toh itu piano tetap bisa jalan kan walau gak perlu belajar tambahan lagi?”

“Ya terserah kamu saja, yang penting kamu jangan lupa sekolah kamu yang utama, sekolah musik itu kan cuma tambahan saja.”

Menghabiskan waktu di rumah, Ayah ikut membantu Nenek menjaga toko rotinya. Tanpa ia sangka, Angel muncul di tokonya untuk membeli kue. Ia terkejut melihat Ayah yang sudah lama ia cari dan ini adalah pertemuan yang sudah ia nantikan.

“Ternyata kamu kerja di sini ya?”

“Enggak kok, ini toko roti ibuku.”

“Oo… begitu. Martin, itu kan nama kamu?” tanya Ibu.

“Iya, Martin.”

“Kenapa kamu gak sekolah musik lagi?”

“Gapapa, aku lagi pengen bantu ibuku saja, kebetulan para pegawainya lagi pulang kampung.”

“Jadi bukan karena kejadian saat itu kan?” tanya Angel sekedar untuk mengingatkan kejadian tangisnya yang heboh di sekolah musik.

“Bu… bukan!” jawabnya gugup.

“Baiklah kalau begitu, aku beli sepuluh roti isi coklat. Tolong dibungkus!”

Ayah dengan cepat mengemas roti pesanan Ibu dan beberapa saat kemudian menyerahkan sekantung roti penuh pada Ibu. Sambil memberikan uang, Ibu berkata,

“Aku minta maaf ya atas kejadian kemarin, aku sedang ada masalah pribadi saja. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu, aku akan jelaskan,” ucap Ibu.

“Gapapa, dengan senang hati aku akan mendengarkan ceritamu,” kata Ayah tersipu malu.

Ibu pun pergi dari toko dan Ayah hanya terdiam bingung. Hatinya senang ketika gadis cantik itu meminta waktu untuk mendengar ceritanya. Tiba-tiba Ibu kembali lagi sambil berkata,

“Hai, besok di sekolah musik aku akan tampil. Kamu datang ya jam dua siang,” kata Ibu yang kemudian pergi begitu saja.

Ayah benar-benar seperti mabuk kepayang dengan permintaan Ibu. Hatinya begitu senang hingga membuat Nenek harus mengetuk kepalanya dengan sendok adonan hingga tersadar dari lamunan.

“Ibu, aku mau lanjutin sekolah musik lagi!” teriak Ayah.

“Lah, tadi katanya bosen, gimana sih!! Sudah jangan aneh-aneh, mandi sana! Biar Ibu yang jaga sekarang.”

“Iya tadi bosen, sekarang sudah enggak, besok aku sekolah lagi,” kata Ayah pergi ke dalam kamar sambil menutup kepalanya dengan bantal.

***

Keesokan harinya, Ayah benar-benar menepati janjinya untuk melihat penampilan Ibu Ibu di sekolah musik. Saat itu banyak murid yang tampil menjalani uji kelayakan naik kelas atau level. Ayah datang saat Ibu sedang berada di atas panggung. Banyak penonton yang begitu terhanyut oleh alunan musik piano klasik yang Ibu mainkan. Sesekali Ibu menolehkan wajahnya ke arah penonton dan berharap Ayah ada di sana hingga akhirnya setelah beberapa kali menoleh, ia menemukan Ayah yang sedang berdiri karena tidak kebagian kursi.

Setelah musik selesai, tepuk tangan Ayah terdengar paling nyaring di antara yang lain. Ibu tertawa kecil melihat Ayah yang memuji penampilannya. Sejak saat itu keduanya pun menjadi dekat. Mereka selalu menghabiskan waktunya di sekolah musik bersama. Itulah cinta monyet pertama Ayah. Walau mereka tidak pernah mengatakan cinta dan menyatakan berpacaran, keduanya selalu dekat dan saling menghabiskan waktu bermain musik piano sebagai bentuk jalinan cinta mereka.

***

Cinta mereka tidak selamanya berjalan baik. Empat bulan setelah masa-masa indah itu, Ibu harus melanjutkan pendidikannya ke Amerika yang disambut Ayah dengan penuh kesedihan. Memang jarak cinta dan usia sangat berpangaruh terhadap hubungan mereka. Ibu yang lulus dari bangku SMA harus melanjutkan kuliah sedangkan Ayah justru baru saja masuk SMA. Hal-hal itulah yang akhirnya membuat mereka sulit bersama.

Ayah begitu berat melepaskan Ibu di saat terakhir pertemuan mereka. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain piano bersama. Di antara suara alunan piano, mereka pun bicara dengan hati yang terluka.

“Kalau aku pergi dari sini, apa kamu akan tetap sekolah piano disini?” tanya Ibu.

“Tidak, aku akan kembali membantu Ibu dan fokus pada sekolah umumku.”

“Kenapa, kamu kan suka main piano apalagi kamu sekolah di sini kan tidak dipungut biaya?”

“Tidak ada kamu di sini itu hanya membuatku sulit untuk melupakan kenangan kita,” kata Ayah dengan wajah sedih.

“Aku mungkin tidak akan kembali,” ucap Ibu kemudian membuat Ayah kaget.

“Kenapa kamu tidak kembali? Padahal aku berjanji untuk menunggu kamu sampai kembali.”

“Semua tergantung ayahku. Ia yang memutuskan, kalaupun harus kembali itu harus setelah aku selesai kuliah, memangnya kamu sanggup apa menunggu sekian tahun?”

“Aku pasti sanggup!”

Ibu hanya tersenyum. Ia sedikit lebih dewasa untuk menahan tangis di samping Ayah. Dan itulah saat-saat terakhir mereka bersama, dalam sebuah ruangan dan bermain piano bersama. Ibu pun pergi melanjutkan pendidikan kuliahnya di Amerika, sedangkan Ayah memutuskan keluar dari sekolah musik dan fokus pada sekolah pendidikan umumnya. Di hatinya hanya ada satu hal: ia akan terus menunggu dan menunggu hingga Ibu kembali walau ia tidak pernah tahu kapan itu terjadi.

***

Lima tahun kemudian

Ibu kembali saat usianya sudah 23 tahun. Ia mungkin sudah melupakan Ayah untuk waktu yang lama. Ayah telah menjadi seorang pemuda tampan berusia 20 tahun. Ia baru saja lulus kuliah dan bekerja pada perusahaan dimana ayahnya Ibu adalah pemiliknya. Mereka bertemu saat Ibu tidak sengaja mampir ke kantor ayahnya. Saat itu di sebuah sebuah lift, Ibu dan Ayah saling berpapasan. Ayah tidak akan pernah lupa wajah Ibu yang cantik dan begitu pula sebaliknya. Keduanya salah tingkah tapi bahagia dengan pertemuan itu kemudian keduanya sepakat untuk melanjutkan pertemuan itu dengan makan malam.

Ayah tidak pernah tau kalau perusahaan keuangan yang ia tempati adalah milik Ibu. Ia pun tak menyangka bahwa Ibu akan bekerja di tempat yang sama. Keduanya semakin dekat hingga Ayah menepati janjinya kepada Ibu.

Ia tidak pernah memiliki seorang kekasih pun setelah berpisah dengan Ibu. Lain halnya dengan Ibu yang sudah memiliki beberapa kekasih dan itu ditunjukkannya kepada Ayah lewat foto-foto saat ia bersama mantan kekasihnya di Amerika.

Ayah pun tidak peduli dengan semua itu. Baginya yang terpenting saat ini ia sudah bisa bertemu dengan Ibu kembali dengan hati yang sepenuhnya mencintainya. Hati Ibu pun luluh melihat Ayah sebagai sosok pria sejati yang layak mendampingi hidupnya.

Sayang seribu sayang, kisah cinta mereka akhirnya sampai ke telinga Kakek. Ia marah karena tidak sudi melihat Ibu berpacaran dengan karyawan rendahannya. Ia malu dan gengsi dengan hubungan tersebut. Tanpa sebab yang jelas, Kakek memecat Ayah hingga membuat Ibu sangat marah. Ibu pun menyadari bahwa hubungannya telah diketahui ayahnya. Ia protes padanya.

“Kenapa Ayah tidak bisa memisahkan masalah pribadi dan perkerjaan? Jangan sewenang-wenang memecat Martin, ia tidak memiliki kesalahan dan bekerja dengan baik untuk perusahan kita!”

“Ia memang bekerja dengan baik tapi menghancurkan impian Ayah dengan baik juga terhadap kamu.”

“Angel sudah besar Ayah. Angel tau apa yang pantas Angel lakukan.”

“Pantas? Menurutmu pantas berpacaran dengan seorang karyawan rendahan dan seluruh karyawan di sini menggunjingkan ayahmu? Dimana letak urat malumu? Memangnya kamu sudah tidak laku sehingga harus pacaran dengan orang rendahan seperti itu?”

“Martin pria yang baik dan tidak serendah yang Ayah pikirkan. Kalau Martin dipecat, mulai hari ini, Angel pun angkat kaki dari perusahaan ini!”

Sejak saat itulah hubungan Ibu dan Kakek menjadi berantakan. Ibu sadar, Ayah pasti tahu mengapa ia dipecat dari perusahaan. Dengan berbesar hati ia menerima semua keputusan perusahaan dan tidak masalah baginya karena ia bisa bekerja pada perusahaan lain. Hubungan cinta itu terus berjalan tanpa sepengetahuan siapapun hingga dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius ketika ibu berusia 25 tahun.

Ayah melamar Ibu di depan keluarganya dan langsung mendapatkan hujatan. Melihat tindakan nekad itu, kedua orang tua Ibu memutuskan untuk membawanya ke Amerika dan membuat cinta mereka terpisah. Awalnya semua berjalan dengan baik, tapi di saat-saat terakhir sebelum keberangkatannya, Ibu berhasil melarikan diri. Ia kabur ke rumah Ayah di bawah hujan yang deras. Di samping nenek, Ibu memohon untuk tinggal bersama Ayah.

Nenek yang tidak tega dan lebih berpikiran luas akhirnya mengizinkan keduanya tinggal bersama. Karena cepat atau lambat, orang tua Ibu akan mencarinya, maka keduanya pun memutuskan untuk kabur ke kampung halaman Ayah di Semarang. Di sana mereka hidup bersama dan akhirnya merayakan pernikahan secara resmi dengan membawa sedikit saksi-saksi yang dapat membuat sah pernikahan mereka. Ibu kembali dengan surat nikah ke hadapan orang tuanya bersama Ayah.

Dengan wajah penuh emosi, saat itu Kakek berkata,

“Mulai saat ini, kamu bukanlah anakku lagi, pergi dari rumah ini!”

Dengan tangis, Ibu pergi meninggalkan rumah dan kemewahan miliknya. Sebelum ia pergi, adik kandung satu-satunya memberikan sedikit uang yang langsung mereka tolak. Adik Ibu memaksa dan berharap uang itu bisa digunakan untuk masa depan keluarga kecil ini karena setelahnya, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka. Keluarga besar Ibu memutuskan untuk selamanya menetap di Amerika dan meninggalkan semuanya.

Simpanan uang yang diberikan adik Ibu akhirnya dijadikan bekal membangun sebuah keluarga di Semarang, kampung Ayah. Ibu membuat kursus musik secara pribadi dan Ayah berkerja di kantor keuangan.

Setahun kemudian, Ibu mulai mengandungku. Keluarga kecil itu begitu bahagia melengkapi kehidupan barunya hingga Ibu memutuskan untuk berhenti mengajar les piano dan fokus pada bayi kecil yang kelak menjadi diriku di masa depan.

Sebulan aku dalam kandungan, Ibu mulai tampak telihat aneh. Ia sering merasa sakit dan tubuhnya melemah. Ayah mulai cemas karena Ibu tidak seperti ibu hamil lainnya. Apalagi Nenek juga melihat keanehan karena semakin besar usia kandungannya, Ibu semakin terlihat tidak sehat. Ayah membawa Ibu ke dokter dan inilah hal yang paling memilukan terjadi dalam kehidupan mereka. Tanpa mereka sadari, ada hal lain dalam hidup mereka yang tidak bisa disatukan.

Ayah memiliki darah yang bertolak belakang dengan Ibu. Ayah memiliki rhesus darah positif sedangkan Ibu memiliki darah rhesus negatif. Dalam dunia kedokteran, kedua darah tersebut tidak diperbolehkan untuk bersama. Pernikahan yang terjadi tanpa pernah melihat apa yang membedakan mereka itu pun akhirnya menjadi masalah bagi Ibu. Ibu mengandung aku yang memiliki rhesus darah positif milik Ayah dan itu membuat tubuh Ibu menolak kandungan Ibu.

Dan akibat perbedaaan itu, usia kandungan yang semakin besar membuat tubuh Ibu semakin menderita. Dokter menyarankan Ibu untuk mengugurkan kandungan, tapi Ibu menolak keras rencana itu. Bagi Ibu, aku adalah segalanya dalam hidup. Ayah tidak bisa melakukan apapun dan tidak juga menyarankan Ibu untuk mengugurkan kandungannya. Karena ia tahu, Ibu begitu mencintai aku dan tidak akan pernah mau melakukan tindakan kejam itu. Tindakan Ibu yang tegas akhirnya hanya membuat dokter mengikuti kehendaknya tapi ia mengingatkan Ibu bahwa Ibu bisa kapan saja mengalami kondisi kritis bila aku dipertahankan.

Dengan bertahan di atas kesakitan dan maut yang siap kapan saja menjemput, Ibu percaya bahwa Tuhan menciptakan aku dalam hidupnya dengan penuh tujuan. Akhirnya setelah masa-masa penuh derita itu, saat usia kandungan mencapai tujuh bulan, Ibu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri. Ayah membawanya ke dokter untuk dirawat di unit gawat darurat. Saat itu dokter memutuskan untuk mempercepat proses kelahiranku karena kondisi Ibu akan semakin sangat kritis bila aku terus bertahan.

Tanpa pernah melihatku saat matanya terbuka, Ibu meninggal saat aku benar-benar berhasil diselamatkan oleh dokter. Ayah hanya bisa termenung sedih melihat kepergian Ibu yang begitu mendadak. Tapi ia selalu teringat janjinya pada Ibu di saat Ibu memutuskan untuk bertahan dengan aku di dalam tubuhnya.

“Anak ini… walau orang lain mengatakan tidak pantas untuk dilahirkan, bagiku ia adalah malaikat yang hidup dihatiku, Martin. Kelak ketika ia lahir, berikanlah nama Angel padanya. Karena Dokter bilang anak ini berjenis kelamin perempuan.”

“Kenapa kamu berkata begitu?”

“Karena aku takut kamu lupa untuk memberikan nama ini, jadi aku ingatkan.”

Tak pernah disangka Ayah, itulah pesan terakhir Ibu untuk Ayah sebelum ia meninggal. Ayah hanya bisa menangis dan berusaha tegar untuk kedua kalinya ia harus ditinggalkan Ibu. Dan kini, aku mengerti mengapa aku menangis begitu kencang saat aku terlahir ke dunia ini. Mungkin karena aku menangis untuk memanggil Ibu yang telah pergi untuk mengorbankan jiwanya demi aku. Aku menangis karena aku ikut bersedih tidak pernah bisa melihatnya seperti ia tidak pernah bisa melihatku ketika terlahir.


Aku Berbeda

Aku mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa aku berbeda dengan orang-orang yang ada di sampingku. Semuanya mulai kupahami, saat aku sadar bahwa aku tidaklah sama dengan anak-anak lain yang kulihat. Ketika berjalan bersama Nenek di halaman rumahku, mereka dapat berbicara dengan mulutnya dan mendengar apa yang sulit kupahami. Aku tidak mengerti apa itu yang disebut dengan pendengaran. Alat indra yang satu ini tidak pernah ada dalam hidupku. Bahkan aku tak bisa mendengar suaraku sendiri.

Aku memiliki telinga dan fisikku tumbuh dengan baik saat berusia lima tahun, tapi itu hanya tampak dari luar. Sesungguhnya aku tidak pernah bisa mendengar apapun selain suara hatiku sendiri. Ayah yang dari sejak awal menyadari aku cacat, tidak pernah mau mengatakan kalau aku adalah seorang gadis cacat. Ia dan Nenek memperlakukanku selayaknya gadis normal sejak dua tahun sebelumnya, setelah mendapatkan informasi dari Dokter Intan tentang pelatih tunarungu.

Ayah langsung menghubungi pelatih itu yang notabene seorang ibu yang tampak sudah tua. Ia datang setiap hari ke rumahku untuk memberikan pelajaran kepada Ayah dan Nenek tentang bagaimana cara berkomunikasi denganku. Ayah dengan giat belajar pada ibu baik hati yang kupanggil Bibi Anggun itu. Yang aku tahu, ia memiliki seorang anak yang juga tunarungu. Jadi, ia memiliki perasaan senasib dengan orang tua yang juga memiliki seorang anak tunarungu Baginya, menjadi pelatih orang tua tunarungu adalah cara untuk berbakti sosial.

Setiap hari setelah pulang kerja, Ayah belajar pada Bibi Anggun. Nenek juga ikut serta, sedangkan aku malah asyik bermain boneka tanpa menyadari bahwa kelak akupun akan mempelajari bahasa tangan dari Ayah. Ia dengan cepat mengerti sedikit demi sedikit hal-hal yang harus ia ajarkan padaku. Ia tidak mengajarkan aku secara keras, tapi ia menggunakan sedikit permainan. Misalnya, apabila ia ingin mengatakan padaku bahwa ini adalah seekor kelinci, ia akan menunjukkan dengan tangannya lalu memperagakannya padaku.

Aku yang saat itu masih kecil mengikuti saja apa yang Ayah ajarkan walau itu sulit. Terkadang aku malah asyik bersama bonekaku, namun akhirnya lama-kelamaan aku terbiasa untuk mengerti maksud Ayah. Aku mulai mengerti bagaimana caranya untuk meminta minum pada Nenek, ingin bermain atau bahkan ke toilet agar tidak buang air kecil di celanaku. Dua tahun adalah masa-masa yang sangat sulit bagi Ayah, karena ia menghabiskan banyak waktunya untukku dengan setulus hati dan tanpa lelah.

Setelah umurku cukup, Ayah menyekolahkanku di Sekolah Luar Biasa dimana aku merasa sangat nyaman dan bertemu orang-orang yang sama denganku. Aku memiliki banyak teman sepermainan yang mengerti apa yang hendak aku katakan lewat bahasa tanganku. Di sekolah ini, setiap harinya aku menghabiskan waktu selama lima jam dari pagi hingga siang hari sampai Nenek menjemputkupulang. Sedangkan pada pagi hari Ayahlah yang bertugas mengantarkanku sebelum akhirnya melanjutkan pergi ke kantornya.

Aku memiliki banyak guru yang baik hati dan sabar untuk mengajari kami anak-anak tunarungu, dengan sepenuh hati. Sahabat-sahabat kecilku saat itu semuanya sangat baik. Ada Lina yang umurnya setahun lebih tua dariku atau Andri yang sudah berumur sepuluh tahun tapi masih perlu belajar banyak bahasa isyarat tangan. Rasanya, aku selalu ingin bersama teman-temanku ketika pulang dari sekolah. Namun kini, duniaku sudah berubah. Aku tidak punya teman untuk berbagi cerita selain Nenek yang terkadang sibuk dengan pesanan tetangga-tetangga yang menyukai rotinya.

Pernah suatu ketika, aku mencoba untuk keluar dari rumahku seorang diri saat Nenek sedang asyik membuat roti dan pintu terbuka lebar. Aku selalu mengingat jalan menuju sekolahku dan berpikir untuk sekali-sekali berjalan ke sekitar taman komplek. Di sana banyak mainan yang disediakan untuk anak-anak. Ada sekolam pasir, ayunan dan kincir angin kecil yang sesungguhnya membuatku begitu ingin mencobanya.

Saat aku tiba di taman, ada sekumpulan anak yang sedang bermain dan perawat yang menjaga tak jauh dari mereka. Aku mendekat dan langsung mencoba ayunan yang kosong. Namun tanpa aku sadari, ada seorang anak laki-laki menunggu giliran dan melihat ke arahku. Ia terus berteriak padaku namun aku hanya terus mengayun tanpa henti. Karena kesal, ia pun menahan tali pengikat ayunan dan aku agak terkejut sambil memperhatikannya.

Dia berteriak padaku.

“Gantian dong, ini kan mainan bersama!”

Aku tidak mengerti apa yang ia katakana, jadi kuteruskan bermain. Kemudian ia menangis karena merasa aku terlalu egois sehingga anak-anak lain pun berkumpul. Semua melihatku dengan tatapan aneh dan aku merasa seperti seekor harimau di atas panggung sirkus. Aku berhenti dan memperhatikan mereka. Semua saling bicara satu sama lain, sedangkan aku hanya bisa terdiam seperti merasa ada sebuah penolakan padaku.

“Ini kan anak cacat yang tinggal di samping komplek,” kata seorang anak perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahku.

“O… jadi dia cacat. Sudah cacat jahat lagi tidak mau gentian main, kasihan Hendra nangis gara-gara anak cacat ini, kita laporin suster yuk!” ujar salah satu anak laki-laki lain. Aku baru menyadari bahwa anak yang menangis itu bernama Hendra.

Perawat yang mereka sebut suster itu mendekatiku. Aku menjadi ketakutan. Semua berteriak bahwa aku jahat seolah aku ini maling. Walau aku tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi tatapan mereka terlihat seperti tidak menyukaiku,. Akhirnya aku pun berjalan meninggalkan tempat itu sebelum perawat itu datang padaku. Mereka terus berteriak menghinaku tapi perawat mereka justru hanya terdiam.

“Anak cacat jangan kembali, anak cacat jangan kembali,” teriak mereka berulang-ulang.

Aku menoleh ke belakang dan pada saat itu juga hatiku pun sedih. Andai saja aku mengerti apa yang mereka katakan, pasti aku akan lebih sedih lagi. Aku pulang dan melihat Nenek begitu cemas menungguiku. Ia menarik tanganku masuk ke rumah dan bertanya padaku lewat bahasa tangan.

“Kamu darimana Angel? Nenek cemas mencari – cari kamu!”

“Nenek, mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang anak-anak lain bicarakan? Kenapa mereka mengusirku dan menunjukkan wajah yang tidak baik padaku?”

“Anak-anak mana?”

“Anak-anak di taman komplek,” ujarku sedih.

“Jadi kamu habis dari sana? Untuk apa?”

“Aku hanya ingin bermain ayunan, tapi mereka tidak suka padaku.”

Nenek lalu menarik tanganku dan membawaku ke taman tempat tadi aku bermain, kemudian Nenek berteriak pada anak-anak itu.

“Siapa yang melarang cucuku bermain di taman ini?”

Semua terdiam dan berhenti bermain mendengar suara Nenek yang cukup terlihat marah dari wajahnya. Seorang perawat mendekati Nenek dan mencoba menjelaskan,

“Kenapa Nek?”

“Siapa yang melarang cucuku untuk bermain disini?”

Akhirnya suster itu menjelaskan sesuatu kepada Nenek, sedangkan anak-anak lain tampak ketakutan bahkan sebagian pergi meninggalkan taman. Aku melihat mereka pergi dan langsung mendekati ayunan. Saat itu aku langsung duduk dan mengayun diriku sendiri. Nenek sepertinya mulai menyadari persoalannya dan terlihat lebih tenang dari sebelumnya setelah perawat itu menjelaskan beberapa hal. Setelah perawat itu pergi, Nenek mendekatiku. Ia terlihat begitu murung, perlahan ia membantuku untuk mendorong ayunan.

Aku tersenyum padanya dan berkata untuk lebih cepat. Nenek dengan senang hati melakukan apa yang aku inginkan. Aku tertawa kegirangan karena akhirnya bisa menikmati ayunan yang semakin kencang dan merasakan angin menyentuh tubuhku dan membuat rambutku berterbangan. Nenek berhenti mengayun dan melepas kacamatanya, air matanya terjatuh dan ia hapus dengan perlahan. Saat ayunan berhenti, aku menoleh ke arah Nenek di belakangku. Karena aku melihat Nenek menangis, maka kuhentikan ayunan dan mendekatinya.

“Kenapa Nenek menangis?” tanyaku.

“Tidak apa-apa. Sudah puas mainnya?”

“Sudah. Ayah kapan pulang?” tanyaku lagi.

Nenek menundukkan badannya lalu mengatakan sesuatu padaku,

“Angel, lain kali kalau kamu ingin bermain ke mana pun, ajaklah Nenek. Nenek akan dengan senang hati menemani kamu.”

“Iya.”

Aku yang masih kecil itu belum menyadari mengapa Nenek berkata demikian. Karena sesungguhnya Nenek hanya bersedih di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa cucunya yang tunarungu, memiliki dunia yang berbeda dengan anak-anak lain yang melihatku dengan aneh. Ia cemas melihat masa depanku di dunia ini, ia cemas untuk membayangkan bagaimana aku nanti hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. Usianya yang sudah sepuh, memiliki sedikit waktu untuk menjagaku. Saat aku tiba dirumah, ia berkata padaku,

“Angel, belajarlah dengan benar di sekolah. Karena dengan begitu kamu akan bisa mengerti bagaimana cara bicara dan berkomunikasi dengan orang lain.”

“Memangnya kenapa, Nek?”

“Karena itulah cara kamu untuk belajar tentang bermain, memiliki teman dan meminta pertolongan pada orang lain.”

“Aku kan sudah punya teman di sekolah. Mereka mengerti apa yang aku katakan dan semua tampak normal?”

Nenek mungkin tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih dalam dan ia hanya memintaku untuk belajar lebih giat. Dalam hatinya, ia ingin berkata bahwa aku berbeda dengan orang lain yang normal. Satu-satunya cara agar aku dapat hidup bermasyarakat adalah dengan belajar untuk mengerti bagaimana cara untuk dapat hidup di dunia ini dengan keadaanku yang tidak sempurna. Tapi ia mengurungkan niat itu karena sadar bahwa aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehidupan yang keras ini.

Nenekku yang baik hati, ia adalah malaikat yang selalu siap melindungiku walau harus kusadari usianya telah senja.

***

Di sekolahku, aku mulai mempelajari bagaimana caranya berhitung, membaca dan memperhatikan mimik muka atau gerak bibir untuk manangkap maksud apa yang hendak dibicarakan lawan bicara. Aku berpikir itulah kehidupan normal yang aku jalani dan merasa bahwa seisi kelasku juga sama dengan kondisiku, jadi aku menikmati semuanya seiring berjalannya waktu.

Saat mengambil raport kelas setiap semester, aku selalu mendapatkan rangking satu dan itu membuat Ayah cukup senang. Saat pengambilan raport, wali kelasku berkata kepada Ayah,

“Angel terlalu pandai untuk bersekolah di tempat seperti ini, apakah Bapak berpikir untuk menyekolahkannya di sekolah yang umum dan normal?”

“Tapi dia masih terlalu kecil dan saya tidak yakin.”

“Kami para guru sepakat untuk mengatakan bahwa kemampuan pendidikan Angel setara dengan anak kelas 6 SD di sekolah normal. Ia pandai berhitung, menulis dan menangkap apa yang kami bicarakan lewat mulut juga tampak seperti anak normal lainnya. Mungkin kesulitannya hanya tidak dapat mendengar dan bicaranya kurang sempurna, tapi semua itu bukanlah masalah.”

“Lalu apa saran Ibu?”

“Semua pelajaran telah ia serap dengan baik. Walau usianya saat ini baru delapan tahun, tapi ia sudah belajar dengan anak usia tiga belas tahun tahun. Mungkin lebih baik ia disekolahkan di tempat yang normal. Saya yakin Angel bahkan bisa lebih pintar dari anak-anak normal lainnya.”

“Akan kami pikirkan, karena sulit untuk membayangkan Angel sekolah umum. Saya takut ia tidak siap dan tidak bisa diterima.”

“Bapak tidak perlu pesimis begitu. Sekarang, kami guru-guru akan fokus untuk mengajarkan Angel untuk bahasa isyarat sehingga ia dapat dengan cepat sekolah di tempat normal. Yang terpenting sekarang adalah kita menyiapkan dia untuk ke depannya. Banyak kok anak-anak seperti Angel yang akhirnya memutuskan untuk sekolah di tempat umum dan selama ini tidak ada masalah.”

Ayah hanya terdiam kemudian kami pulang ke rumah. Ketika makan malam, Ayah dan Nenek berdiskusi, sepertinya Nenek sedikit tidak setuju dengan pendapat Ayah. Ia lebih berharap aku bersekolah di tempat yang lama karena ia tidak ingin aku terluka oleh anak-anak normal lain seperti ia melihatku ketika di taman dulu. Ketika malam saatnya tidur, Ayah mengantarkan aku hingga ke ranjang lalu mengajakku untuk bicara sebelum tidur.

“Angel, apakah kamu merasa diri kamu berbeda dengan anak-anak lain?” tanya Ayah tampak serius.

“TIdak,” jawabku.

“Angel, apakah kamu tau, bahwa kamu adalah seorang tunarungu?”

“Tunarungu, bukannya semua teman-temanku juga tunarungu?”

“Tidak semua anak-anak yang kamu tau itu adalah tunarungu. Kamu berbeda Angel. Kamu tidak dapat mendengar dan hanya sedikit dari anak-anak lain yang bisa mendengar. Bisa kamu pahami?”

Aku terdiam seperti tampak tidak mengerti.

“Baiklah, kalau begitu kamu lekas tidur sana,” kata Ayah menyerah dan hendak pergi. Aku meraih tangannya sambil berkata.

“Ayah, yang aku tau tentang diriku, aku hanya ingin bersamamu. Itu saja cukup. Aku tau, aku tidak mendengar dan tidak mengerti apa itu mendengar, tapi aku merasa cukup dengan keadaanku saat ini. Aku bahagia memiliki teman-teman yang bisa bermain bersamaku. Tidak sulit buat aku bicara dengan mereka.”

“Tapi kelak kamu harus mencoba untuk hidup dengan lingkungan berbeda. Karena kamu akan terus tumbuh menjadi besar.”

“Hmm… teman-temanku juga akan tumbuh dewasa dan sama dengan kondisiku.”

“Kamu memangnya tidak ingin punya teman yang bisa mendengar?”

Aku terdiam. Belum pernah terpikir olehku memiliki teman yang bisa mendengar, malah berpikir bahwa bisa mendengar adalah sesuatu yang aneh.

“Aku tidak pernah berpikir tentang itu,” jawabku.

“Baiklah, lupakan pertanyaan Ayah hari ini, lekas tidur. Besok kamu kan harus sekolah. Ayah tidak ingin kamu terlambat bangun. Oke?”

“Oke,” jawabku.

“Selamat malam Ayah…” ucapku pada Ayah yang langsung menjawab dengan tersenyum.

Sejak malam itu, aku mulai berpikir tentang sebuah pertanyaan dari Ayah. Apakah aku bisa memiliki teman lain selain teman-temanku yang tunarungu? Bagaimana rasanya memiliki teman yang bisa mendengar? Bagiku, melihat orang lain bicara adalah sesuatu yang aneh. Dalam duniaku hanya ada satu cara untuk berkomunikasi yaitu lewat bahasa tangan. Ayah sungguh membuatku bingung dan berpikir tanpa henti dengan pertanyaan-pertanyannya.

***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Popular Posts

Copyright by Cindi Astrid Irdam. Diberdayakan oleh Blogger.